Ketika Agama Sudah Kehilangan Rohnya
Ketika seseorang mulai membangun sebuah karya sastra dia sedang memasuki dunia baru, dunia dari ciptaanya, dunia dengan dimensi imajinasi tanpa batas. Perlahan-lahan semakin dalam ia masuk ke dalam dunianya. Dunia imajinatif inilah yang ia tawarkan kepada pembaca untuk dimasukinya. Dia tuntun pembaca memasuki ruang imajinasi dunia barunya tanpa harus mendikte. Tiap pembaca diberi kebebasan yang seluas-luasnya mengembangkan dunia baru si pengarang yang baru saja ia masuki sesuai alam imajinasi pikiranya masing-masing. Si pengarangpun sudah mulai dibatasi oleh ruang pembaca. Dia hanya mampu menuntun langkah pembaca sesuai dengan keinginannya mau diarahkan kemana si pembaca itu sedangkan yang ada di dunia imajinasinya sudah tidak berlaku lagi bagi dunia pembaca. Disini pembaca sudah memasuki dunia yang sama sekali lain dengan dunia pengarang itu sendiri. Otonomi kreasi pembaca diberikan seluas-luasnya oleh pengarang bentuk imajinasi seperti apa yang diinginkan pembaca. Dalam bentuk inilah si pengarang sudah tidak mempunyai peran apa-apa lagi . Si pengarang hanya mencoba menjelaskan satu bentuk sesuai dengan imajinasinya. Setiap pembaca akan menerjemahkan berbeda-beda dari setiap bentuk yang ditawarkan pengarang.
Pengalaman, status sosial, latar belakang pendidikan, lingkungan adalah beberapa hal yang sangat mempengaruhi tingkat ketajaman dalam menerjemahkan setiap bentuk yang ditawarakan si pengarang karena bagaimanapun juga imajinasi muncul dari referensi dalam memori otaknya. Apa yang pernah dilihat atau apa yang diaksikan setiap hari oleh pembaca itulah yang memegang peranan terpenting dalam penerjemahan bentuk di dalam ruang dunia imajinasi yang dibangun pengarang.
Si pengarang tidak mungkin bisa memaksakan kehendaknya kepada pembaca untuk mengikuti apa kemauannya. Itulah salah satu sebabnya karya sastra kadang berbenturan dengan kitab-kitab suci agama apapun di muka bumi ini. Ketika ada seseorang berani keluar dari pakem imajinasi pada umumnya, dia harus bersiap diri menerima segala macam bentuk protes sampai mungkin dikeluarkannya dari komunitas kepercayaanya. Sehingga disini semua kalimat dari ayat-ayat Tuhan tereduksi dalam bentuk dan ruang tertentu saja bahkan menakibatkan kehilangan sebagian penting dari akibat penyampitan ini. Padahal suatu ajaran agama harus bisa menempatkan dan ditempatkan dalam segala zaman dan keadaan apapun atau di belahan dunia manapun yang tiap pengikutnya memiliki kadar pendidikan, tingkat sosial, pengalaman ataupun lingkungan yang berbeda -beda.
Ketika sudah terjadi, yang tersisa dari suatu ajaran agama adalah ketaklidan yang buta kepada individu-individu tertentu dan tanpa sadar penuhanan manusiapun terjadi. Dengan begitu berarti dia sudah melakukan kemusyrikan terselubung, tersembunyi dengan sangat halus dibalik egonya.
Ayat-ayat suci sudah tidak mempunayi kekuatan mukjizatnya lagi bagi pengikutnya. Roh yang dibawa dari tiap huruf suatu ayatpun lenyap dan ayat-ayat suci hanya sekedar sebagai simbol penegasan eksistensi Tuhan semata tanpa pernah bisa mencapaiNya.