Renungan: Memanusiakan Guru
Keberhasilan Jepang menjadi salah satu Negara besar di dunia tidak dapat dilepaskan dari peran guru. Kebijakan pemerintah darurat Jepang ketika itu memaksimalkan peran serta guru menjadi tulang pungggung kebangkitan Jepang pasca diluluh-lantahkan oleh AS adalah contoh nyata bertapa urgennya guru. Malaysia pada pada era 70-an belajar banyak perkara pendidikan di Indonesia, kini telah meninggalkan jauh Indonesia. Mereka memuliakan guru. Setiap acara kenegaraan selalu mereka membanggakan guru mereka. Kebanggaan itu mereka ekspresikan dengan mensejajarkan mereka (guru) dengan pejabat tinggi negara tersebut.
Lalu bagaimana dengan guru di negeri ini? Sangat menyedihkan. Ada guru di negeri ini menjadi pemulung, tukang ojek, tukang becak, dan banyak penyimpangan profesi yang beliau lakukan. Bahkan yang lebih mengenaskan adalah guru menjadi pesakitan dari pihak pengambil-kebijakan. Ingat kasus sekelompok guru (Komunitas Air Mata Guru) diberi sanksi karena mereka ”menuduh” ada ”permainan” sekolah untuk membocorkan soal Ujian Nasional.
Melihat carut-marutnya pendidikan di negeri ini terutama guru, pembuat dan pengambil kebijakan mengeluarkan kebijakan memperketat profesi seorang guru. Seseorang guru akan diakui keprofesiannya jika ia mengantongi sertifikat. Artinya tidak akan dikatakan sebagai guru yang profesional jika tidak memiliki sertifikat. Pemerintah memberikan penghargaan berupa tunjangan profesi sebesar sati kali lipat gaji pokok.
Banyak pihak menilai dengan adanya sertifikasi guru berarti akan mensejahterakan guru. Implikasinya guru tidak akan ”menyambi” untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kebijakan inipun disambut hangat oleh para guru. Mereka berharap ada perbaikan ekonomi jika mereka telah disertifikasi. Ternyata untuk mendapatkan prediket guru yang memilikisertifikasi tidak semudah yang dibayangkan. Guru-guru yang sudah ”sepuh” harus memenuhi segudang syarat yang sangat bertele-tele. Mereka harus mengumpulkan arsip mereka berupa portofolio. Pemerintah berharap dengan adanya kebijakan ini akan menambah mutu guru. Faktanya ”guru sepuh” disibukan dengan kegiatan baru yakni mengumpulkan arsip-arsip beliau dan guru junior disibukan dengan mengejar sertifikat seminar. Artinya kebijakan ini makin menambah pekerjaan baru guru. Demikianlah keadaaan guru di negeri ini. Pemerintah ”mesejahterakan” guru dengan perjuangan teramat berat. Artinya penghargaan guru akan indentitasnya tidak begitu diharagai.
Meskipun ada keadaaan guru di negara tertentu mereka diakui tetapi untuk perkara tertentu mereka masih dijadikan alat penjajah. Misalnya kurikulum yang kapitalistik. Guru pada era kapitalistik dijadikan corong penyebaran ide-ide yang bertentangan dengan fitrah manusia tersebut. Artinya guru masih ditekan oleh kaum penjajah (AS dan anteknya).
Terjadinya degradasi profesi guru di negeri ini karena beberapa hal. Pertama, motivasi menjadi guru yang keliru. Oleh calon-calon guru menjadi guru bukan motivasi idealisme tetapi hanya semata-mata materi. Jika ini yang terjadi maka guru hanya sebuah pekerjaan. Padahal guru adalah profesi mulia. Guru tidak sekedar transfer pengetahuan tetapi berupaya maksimal mendidik, membimbing siswa agar lebih baik dari gurunya. Kedua, kurikulum pendidikan yang materialistik. Calon guru pada masa pendidikannya dicekoki oleh pemahaman yang bersifat sekulerisme. Paham ini (Kapitalistik) adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan (sekulerisme). Sehingga orang yang terjangkiti pemahaman ini akan menjadi materi sebagai tujuan. Jika ini yang terjadi maka akan lahirlah guru-guru yang hanya menstransfer kapitalistik kepada peserta didik. Guru yang memiliki karakter kapitalis tidak akan menghormati profesinya sebagai guru. Sehingga wajar jika ada oknum guru bertindak kriminal.Ketiga, minimnya keberpihakan pemerintah. Adanya guru yang menyambi menjadi tukang ojek, tukang beca dan yang lainnya adalah profesi untuk menyambung hidup. Dengan gaji yang minim tidak sebanding dengan pemenuhan kehidupan yang laik. Misal guru dengan golongan III/a memiliki satu istri, dua anak sekolah SD dan satu anak sekolah SMA . Gaji bulan rata-rata Rp 2.100.000. Tentu gaji yang demikian tidak dapat menghidupkan satu istri dan tiga anak tersebut tanpa ada pekerjaan sampingan. Keempat, Serangan media massa. Adanya tayangan-tanyangan sinetron yang menggambarkan seorang guru sebagai badut dan semisalnya juga berperan mendegradasi profesi guru.
Sehingga untuk memanusiakan guru haruslah mengeliminir paling tidak empat hal di atas. Pemerintah diharapkan berperan aktif untuk memuliakan guru. Jika ingin mensejahterakan guru, sejahterakan dengan penuh keikhlasan. Saatnya pemerintah mencapkan pendidikan yang materialisme. Karena ideologi kapitalisme (induk dari materialisme) telah terbukti gagal dalam memanusiakan manusia. Saatnya beralih pad ideologi Islam. Ideologi yang penuh dengan kerahmatan. Lihat sirah nabi SAW yang disarikan dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, yang ditulis oleh Al Baghdadi (1996) menyebutkan bahwa Negara memberikan jaminan pendidikan secara Cuma –Cuma dan bagaiamana penguasa yang ada ketika itu mesejahterakan guru. Ad Damsygy mengisahkan dari Al Wadliyah bin Ataha’ bahwa khalifah Umar Ibnu Khattab memberikan gaji kepada guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah sebesar 15 Dinar atau sekitar 63,75 gram emas setiap bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika 14 abad silam, Islam memberikan porsi kepada guru dengan kesejahteraan yang luar biasa. Wallahu’alam.